20 Jul 2010

Badan di Perjalanan

Aku memandangi kemegahan kota yang basah diguyur air hujan
aku memandangi wajah-wajah tua yang hampir menyerah dihimpit zaman
aku memandangi keresahan yang lelah ditaburi bintang-bintang
benarkah sanjungan itu kemuliaan?
benarkah telah sirna lentera itu dari malam?


Ku dengarkan sayup suara adan di kesunyian,
duh para pengelana bilakah menghentikan langkahnya,
bersembah sujud mensyukuri karunia di badan,
badan ini berapa lama di perjalanan
meniti hari siang dan malam
menjemput impian
bilakah tasbih dan tahmid fasih di lisan
menyentuh kalbu diambang kegersangan.


Ini kisah bukanlah seperti kembang
yang harum mewangi, kemudian layu dibuang di comberan,
ini kisah badan di perjalanan
meniti hari pagi siang petang dan malam
menyibak tirai usia di kegelapan
menghitung entah tinggal sisa berapa
menghitung apakah amal ini seperti tulang berserakan
dari sisa anjing liar yang ditinggalkan
ataukah seperti mutiara yang cemerlang bercahaya,
Tuhan,
hambaMu menanti jawaban.

9 Jul 2010

Gallery Isro' Mi'roj Musholla Nurul Huda Dusun Kapurinjing

Gallery Isro' Mi'roj Musholla Nurul Huda Dusun Kapurinjing

Gallery Isro' Mi'roj Musholla Nurul Huda Dusun Kapurinjing

Gallery Isro' Mi'roj Musholla Nurul Huda Dusun Kapurinjing

Gallery Isro' Mi'roj Musholla Nurul Huda Dusun Kapurinjing

3 Jul 2010

Rimba Metropolitan

Mengapa kali ini aku mempertanyakan, ada nggak ya kesamaan hakiki
antara hutan belantara di Pulau Kalimantan atau Pulau Papua dengan
Kota Metropolitan Jakarta ?
Kalau di Kalimantan pohonnya gede-gede, di Jakarta gedungnya juga
gede-gede, semak-semaknya di bantaran kali. Di Kalimantan ularnya
gede-gede, di Jakarta siapa yang mau disamakan dengan ular ?
Yah.., menurutku tinggal persepsi sedulur-sedulur aja, toh mungkin
banyak yang tahu kalau ganasnya hutan Kalimantan sama juga dengan
ganasnya Metropolitan Jakarta.
[tags metropolitan, jakarta, rimba, gedung, pohon, ular, papua]

1 Jul 2010

Mencintai, Berawal Dari Keyakinan

2004,
Siang itu istriku duduk melamun di beranda, aku dekati dia dan
bertanya mengapa ?
Dia hanya menggelengkan kepala tanpa mengeluarkan sepatah kata.
Tapi aku mengenal lahir batin istriku, aku tahu keresahannya, tahu
gejolak keinginannya. Anak-anak sudah semakin besar, kebutuhan ekonomi
harian kian bertambah, dan dulu sebelum krisis moneter aku adalah
seorang buruh pabrik dengan gaji pas-pasan namun masih cukup untuk
memenuhi kebutuhan rumah tangga. Namun semenjak krisis moneter, pabrik
tempatku bekerja bangkrut total, dan seluruh karyawan terkena PHK.
Istriku yang dulu satu pabrik dengan saya juga ikut terkena imbasnya,
sama-sama menjadi pengangguran.
Istriku memilih tinggal di kampung untuk membesarkan anak-anak bersama
Bapak mertuaku yang saat itu sudah amat tua.
Sesungguhnya hidup di kampung itu lebih tentram dan nikmat kalau kita
tidak punya pikiran dan keinginan yang neko-nekn, karena kebetulan
istriku mempunyai sepetak sawah
yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup selama musim tanam hingga
menunggu panenan. Namun hidup tidak melulu makan dan minum tok! Hidup
juga ingin punya status, entah apa status yang ingin aku gapai bersama
istri dan anak-anakku, hampir setiap saat selalu bertambah untuk
meningkatkan status tiap kali satu status terpenuhi dengan status yang
lain. Tapi aku dan istriku selalu belajar <b>nerimo ing pandum</b> dan
tidak terlalu memaksakan diri dalam meraih keinginan hidup.

Tapi gurat-gurat keresahan istriku semakin jelas ketika aku tiada lagi
merantau ke Jakarta. Ketika itu aku bekerja serabutan di kampung,
menjadi apa saja, yang penting dapat uang halal dan berkah.
Aku tanyakan pada istriku, Kamu mau apa ?
Mau dagang, jawab istriku.
(bersambung...)

Cinta Ini, Seberapa Pantas

Di kamar tidur ini aku terbaring lesu, melepas lelah karena kerja
seharian, sambil menatap poster wanita cantik yang terpajang di
dinding. Agaknya wanita dalam poster itu adalah seorang model yang
sangat cantik namun aku lupa entah siapa namanya. Aku membayangkan
andai istriku seperti dia, mungkin hatiku sungguh bahagia.
Tapi aku tak ingin membiarkan angan-angan ini mengganggu fikiranku. Ku
buang angan-angan itu menjauh, karena menuruti keinginan hawa nafsu
adalah bagaikan menenggak air laut, makin diminum akan terasa semakin
haus. Bukankah selama ini istriku adalah belahan jiwaku yang paling
setia? Bukankah dari rahimnya telah keluar anak-anak yang menjadi
permata di jiwa ? Bukankah dari air matanya telah menitikkan
harapan-harapan yang mulia ? Bukankah dari kasih sayangnya telah
terpancar mahligai-mahligai kebahagiaan ? Itulah kesetiaan cinta
sejati seorang istri, yang selalu sabar menunggu suami kan kembali.


Di kamar ini, kupandangi lagi poster wanita cantik yang terpajang di
dinding. Aku gelisah, tak merindukannya, tapi dia ada di arah
kiblatku, tempat aku duduk bersujud dan bertafakur.


Tuhanku,
tak sebanding hayalan-hayalan itu dengan kesetiaan istriku.
Bukankah tak pantas sebuah pengkhianatan ? Bukankah amat hina kedurhakaan ?


Tuhanku,
dalam kelelahan ini, jadikan cinta ini suci. Dalam kerinduan ini,
jadikan luka ini bukan perih. KaruniaMu, terbait di dinding kalbu.
CintaMu, lebih agung dari yang ku mau, seberapa pantas aku membalas
cintaMU....